Senin, 19 Juli 2021

Rumah Imajinasi 711

 



-----
Bagi saya, kebutuhan akan rumah di usia 43 tahun ini sudah terlambat (sebenarnya), sebab memasuki usia 40-an tahun pikiran sudah tertuju ke "masa depan anak-anak" dan "persiapan masa tua". Kami (saya dan istri) bukan tidak berusaha, bahkan menjelang usia 30-an saya sudah kumpulkan uang sedikit demi sedikit agar impian punya rumah tercapai. Apa hendak dikata, cerita hidup berkata lain, paling enak memang disimpulkan dengan tagar #BukanBenarSalah.
-----
"Rumah Imajinasi Asa" ini bermula dari cerita mengenai seseorang yang "menjelang pensiun" membuat rumah dengan 6 kamar, termasuk untuk anak-anaknya yang 5 orang. Terus-terang ini menginspirasi saya. Yang tadinya saya "pesimis", apakah masih mampu punya rumah sendiri dengan kondisi ekonomi dan psikologis seperti saat ini? Sekarang jadi serba mungkin.
-----
Bersama dengan anak-anak, saya berimajinasi tentang rumah impian #LittleFamilyMusic, sebutan saya untuk keluarga kecil kami, yang terdiri dari:
(1) Saya,
(2) Q-Qn (istri saya),
(3) Uyi (putri pertama),
(4) Imi (putri kedua),
(5) Ewi (putri ketiga).
Bisa jadi ini semacam jawaban dari rasa "minder" sebagai lelaki yang tak kunjung membuatkan rumah untuk keluarga kecil-nya. Barangkali.
-----
Entah mengapa (awalnya) alam bawah sadar mengajak saya cenderung membuat denah rumah dengan lokasi di sekitaran Jabodetabek. Mungkin ini terjadi karena di sanalah dulu kami bercita-cita mewujudkan apa yang disebut dalam bahasa Inggris sebagai "home". Bahkan tidak jarang saya me-like beberapa akun IG terkait rumah dengan harga yang tidak murah. Jika ditanya, apakah ada keinginan punya rumah se-lumayan itu di Jakarta? Pastilah ada. Tapi apakah memungkinkan? Kalo ini, saya masih pikir-pikir. Sebab anak saya yang besar saja sudah mau berkuliah, yang berarti, saya tidak tahu cerita kehidupan akan membawa dia menyebarkan manfaat ke daerah mana di planet bumi ini.
-----
Yang unik, saya dan Uyi cenderung suka dengan pendekatan "tiny house", sebab hidup jadi lebih flexible. Rumah di-fungsi-kan hanya untuk istirahat. Jika disimpulkan ibarat... Mending punya rumah kecil, tapi ada dimana-mana, sebab membangun rumah besar itu ada hitungan perawatannya lho.
-----
Kisaran tahun 2006 saja saya sempat tanya biaya hidup dengan rumah ukuran sedang di pinggiran Jakarta, (konon) tembus sampai belasan juta rupiah sebulan. Tahun 2012 berkesempatan menengok rumah salah satu orang terkaya di Indonesia, rumah yang hanya "sesekali" saja ditempati tersebut khabarnya butuh biaya minimal 25-an juta lebih sebulan. Merawat rumah itu butuh biaya, sedang harga rumah yang kita bangun kian lama kian merosot, akan berbeda dengan tanah yang harganya terus naik. Kecuali untuk "rumah spesial", contohnya seperti "cagar budaya rumah Raden Saleh" dsb.
-----
"Rumah Imajinasi 711" adalah definisi untuk ukuran 7x11 meter. Setelah dikritik Ewi yang menolak pakai tangga (2 lantai), lantas saya coba dengan 1 lantai namun dapat minimal 2 toilet. Lumayan berhasil meski ada kesalahan sedikit di bagian depan seperti pada gambar di atas.
-----
Membangun rumah yang kecil-kecil itu adalah sebuah konsep dimana fokus prioritas terarah ke usaha yang kita bangun. Contoh, walaupun rumah kita kecil, tapi pabrik yang kita bangun luas. Atau mungkin kita punya rumah kecil di tengah perkebunan karet yang luasnya ratusan hektar. Atau yang lain.
-----
Saya benar-benar gak sangka pendekatan ini selaras dengan tagar twitter #HomelessEntrepreneurThread, bahkan Elon Musk (salah satu orang terkaya dunia) mulai memakai pendekatan sama sejak tahun lalu. Padahal konsep ini sudah saya rumuskan sejak lama, berbarengan dengan ketertarikan bergabung di @wef karena berkuliah di bidang Ekonomi. Malah ada momen bahagia di dalam hidup ini (dimana) bersama anak-anak berdiskusi dimulai dari kalimat saya (yang kurang-lebih intinya)... "Tak masalah kita gak punya rumah, tapi suatu saat nanti punya hotel yang cabang-nya ada di lokasi seluruh #KawasanEkonomiKhususRepublikIndonesia, plus usaha-usaha lain terkait tagar #TenBasicNeeds". Ya, membebaskan imajinasi se-merdeka mungkin. Ini persoalan mindset, kalo menurut saya.
-----
Rumah Imajinasi 711 ini menyesuaikan cerita hidup Q-Qn yang seorang Guru di desa. Ini adalah rumah dimana saya dan istri akan menghabiskan sisa hidup di masa tua, dengan luas tanah standar kavlingan di desa 15x20m. Karena di desa, saya pun nggak akan membuatnya bergaya "modern", malah semakin "ndeso" dan "kampungan" justru lebih baik.
-----
Tapi balik lagi, jangankan cerita masa depan anak-anak nantinya, cerita hidup kami pun nggak ada yang tahu. Bisa saja "Rumah Imajinasi 711" terwujud malah di daerah pegunungan, atau di pantai, atau justru balik lagi ke Jakarta, atau malah ke luar negeri (misal). Hidup nggak ada yang tau. Namun (untuk sementara) karena Q-Qn mengajar di daerah dekat sini, imajinasi-nya pun ya dekat-dekat sini. Syaratnya simpel, sebisa mungkin hasil dari jerih payah sendiri. Bukan sok jual mahal, barangkali inilah cara saya menguatkan bahwa diri ini berharga.
-----
Jika sampai meninggal dunia saya tak berhasil mewujudkannya, sudah saya utarakan ke Q-Qn permohonan maaf. Siapa tahu justru anak-anak yang meluluskan impian ibunya untuk punya rumah. Bisa jadi. Jelasnya, saya berusaha terbebas dari rasa minder karena sampai saat ini belum punya rumah, plus yang terpenting adalah berusaha "jauh dari rasa iri".
=====
BAGIAN SEBELUMNYA...
#ImajinasiEnamTujuh, serta tentang (10x20)...
http://justluten.blogspot.com/2021/07/sketch-rumah-6x7.html
-----
© Wurry Agus Parluten
---