Rabu, 01 Maret 2017

Jauh dari kesan Sempurna




Ada beberapa "image" yang saya download, terkadang lupa menyimpan URL-nya. Maksudnya, kebiasaan menyimpan URL itu dalam rangka mengingat, darimana saya mendapat image tersebut? Untuk itu saya mohon maaf karena kali ini tidak bisa menampilkan sumber URL dari beberapa image di bawah.

Saya sengaja mem-posting di page ini agar mengenang masa-masa searching, terutama quotes yang membantu melewati fase sulit. Maklum, saya harus membentengi diri agar tidak "salah" dalam mengambil sikap. Sekaligus belajar tentang GROWTH MINDSET seperti yang ada pada salah satu image di bawah, dimana secara psikologis saya sering berhadapan dengan apa yang disebut TEKANAN.





Mengingat kembali nasehat Paman, tentang budaya Jawa yang bernama "Laku Lampah" (entah benar atau tidak ini tulisannya). Ajaran ini menjelaskan agar kita bertutur kata yang baik, SEBAB KATA-KATA ITU ADALAH DO'A. Jadi kalau waktu kecil anak-anak terbiasa mendengar "sumpah serapah" orangtuanya, maka saat besar akan berpengaruh terhadap mental-nya.

Ini adalah pelajaran sederhana yang berharga, terutama bagi saya sebagai orangtua yang terus terang saja masih kurang sempurna. Dan saya meyakini, yang seperti ini bukan saja ada di adat Jawa, namun di berbagai daerah tentu ada. Karena saya percaya, KEARIFAN LOKAL yang ada di Indonesia ini sejatinya mengajarkan kita akan kebaikan. Apalagi jika dilihat dari sudut pandang AGAMA, pasti yang model begini sangat dianjurkan.





Saya menulis tentang TUTUR KATA ini sebab saya pribadi pun mengalami hal yang sama. Model seperti ini pernah terjadi dimulai dari tekanan pekerjaan, kemudian berpengaruh kepada situasi psikologis sehingga kita pun tanpa sengaja melampiaskannya ke anak-anak. Selain tekanan pekerjaan, ada juga faktor lain seperti problem di dalam rumah tangga dan lingkungan. Contohnya seperti percikan sedikit dari tetangga yang punya "barang baru" bisa memicu pelampiasan emosi. Dan yang paling saya rasakan berat adalah FAKTOR EKONOMI, entah mengapa hal mendasar ini benar-benar mengusik, bahkan hingga saat ini. Mungkin kalau saya adalah Bill Gates, cerita pun jadi lain (mungkin tapi).




Hal yang sulit saya pelajari dalam beberapa tahun terakhir adalah tentang SABAR. Studi kasus yang saya temui (bahkan dari beberapa tahun sebelumnya) justru menemukan bahwa terkadang peranan sisi religi tidak menyentuh ke dalam hati seseorang secara mendalam. Ada begitu banyak KONTRAS KARAKTER yang secara kasat mata nampak religius, namun secara inner sama sekali nggak berasa.

Saya tidak menyalahkan mereka yang seperti itu, justru saya menemukan bahkan saya pun terjebak dalam kasus yang sama. Hal sederhana untuk membuktikan model kasus seperti ini adalah dengan merasakan, apakah NASEHAT RELIGI itu menyejukkan atau bahkan membangkitkan emosi (indikator)? Jika membangkitkan emosi, itu berarti saya nggak berbakat dalam hal menasehati secara religi. Jika berhasil, berarti ada bakat. Kalau sudah begini, saya sih mending tenang dan membenahi diri sendiri. Rasanya menjadi orang biasa itu lebih baik, soalnya tidak setiap orang ditakdirkan untuk menjadi religius.



Medio 2011-2017 ini bisa dipastikan bahwa waktu banyak saya habiskan dengan apa yang disebut dengan "bertapa" (mengambil analogi dari  kisah-kisah pendekar). Fase terberat adalah saat memahami bahwa pada dasarnya kesalahan di dalam hidup saya disebabkan oleh diri sendiri. Saya mengisi hari-hari dengan belajar, untuk kemudian keluar guna membenahi proses pembelajaran diri itu tadi. Orang terdekat saya menyebut ini sebagai proses pendewasaan, tapi saya sendiri nggak ngerti definisi itu. Saya menjalaninya seperti taste kisah-kisah pendekar di film silat, dimana setiap pendekar punya jurus yang menjadi ciri khas dia. Inilah yang membuat saya berkesimpulan bahwa sejatinya setiap orang itu punya karakter masing-masing sehingga diwakili dengan kata UNIK. Lebih luas lagi cakupannya, konon pembelajaran seperti ini disebut dengan belajar tentang TOLERANSI. Katakanlah begitu.



Serunya, makin dalam saya belajar justru membuat diri ini merasa JAUH DARI KESAN SEMPURNA. Kian dalam mencaritahu malah bikin saya jadi sadar, bahwa diri ini bukan siapa-siapa. Contohnya,  dalam hal menjadi PENDENGAR YANG BAIK. Tingkat kesulitannya benar-benar tinggi, ditambah faktor usia yang membuat kita sering silap dengan merasa SENIOR. Godaan hati seperti kalimat, "Saya ini senior dan paling benar" terkadang justru membuat diri menjadi berkesan "sok benar". Ini juga menjadi kendala hingga saat ini.



Jadi dari semua apa yang saya searching, catat, dan simpulkan dalam blog sebenarnya masih jauh dari kesan sempurna. Terkadang ada momen dimana kekesalan itu muncul, kadang juga ada momen down, atau bahkan bergairah. Itu adalah wujud dari ke-kurang sempurna-an diri itu tadi. Mengembalikan esensi bahwa pada dasarnya saya ini manusia biasa, atau sering saya sebut dengan istilah JUST ORDINARY MAN.

:-)